Sabtu, 20 Juli 2013

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
DENGAN EFUSI PLEURA

A.    Definisi
Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus (Baughman C Diane, 2000)
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne, 2002).
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga pleura. (Price C Sylvia, 1995)

B.     Etiologi
  1. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig (tumor ovarium) dan sindroma vena kava superior.
  2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia, virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80% karena tuberculosis.
Kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit neoplastik, tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat mekanisme dasar :
*        Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik
*        Penurunan tekanan osmotic koloid darah
*        Peningkatan tekanan negative intrapleural
*        Adanya inflamasi atau neoplastik pleura
C.    Tanda dan Gejala
*        Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
*        Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak.
*        Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.
*        Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
*        Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
*        Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

D.    Patofisiologi
Didalam rongga pleura terdapat + 5ml cairan yang cukup untuk membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis. Cairan ini dihasilkan oleh kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan hodrostatik, tekanan koloid dan daya tarik elastis. Sebagian cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10-20%) mengalir kedalam pembuluh limfe sehingga pasase cairan disini mencapai 1 liter seharinya.
Terkumpulnya cairan di rongga pleura disebut efusi pleura, ini terjadi bila keseimbangan antara produksi dan absorbsi terganggu misalnya pada hyperemia akibat inflamasi, perubahan tekanan osmotic (hipoalbuminemia), peningkatan tekanan vena (gagal jantung). Atas dasar kejadiannya efusi dapat dibedakan atas transudat dan eksudat pleura. Transudat misalnya terjadi pada gagal jantung karena bendungan vena disertai peningkatan tekanan hidrostatik, dan sirosis hepatic karena tekanan osmotic koloid yang menurun. Eksudat dapat disebabkan antara lain oleh keganasan dan infeksi. Cairan keluar langsung dari kapiler sehingga kaya akan protein dan berat jenisnya tinggi. Cairan ini juga mengandung banyak sel darah putih. Sebaliknya transudat kadar proteinnya rendah sekali atau nihil sehingga berat jenisnya rendah.

E.     Pemeriksaan Diagnostik
*        Pemeriksaan radiologik (Rontgen dada), pada permulaan didapati menghilangnya sudut kostofrenik. Bila cairan lebih 300ml, akan tampak cairan dengan permukaan melengkung. Mungkin terdapat pergeseran di mediatinum.
*        Ultrasonografi
*        Torakosentesis / pungsi pleura untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan tampilan, sitologi, berat jenis. Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior, pada sela iga ke-8. Didapati cairan yang mungkin serosa (serotorak), berdarah (hemotoraks), pus (piotoraks) atau kilus (kilotoraks). Bila cairan serosa mungkin berupa transudat (hasil bendungan) atau eksudat (hasil radang).
*        Cairan pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan gram, basil tahan asam (untuk TBC), hitung sel darah merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa, amylase, laktat dehidrogenase (LDH), protein), analisis sitologi untuk sel-sel malignan, dan pH.
*        Biopsi pleura mungkin juga dilakukan

F.      Penatalaksanaan medis
q  Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah penumpukan kembali cairan, dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta dispneu. Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab dasar (co; gagal jantung kongestif, pneumonia, sirosis).
q   Torasentesis dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen guna keperluan analisis dan untuk menghilangkan disneu.
q  Bila penyebab dasar malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari tatau minggu, torasentesis berulang mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit, dan kadang pneumothoraks. Dalam keadaan ini kadang diatasi dengan pemasangan selang dada dengan drainase yang dihubungkan ke system drainase water-seal atau pengisapan untuk mengevaluasiruang pleura dan pengembangan paru.
q  Agen yang secara kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin dimasukkan kedalam ruang pleura untuk mengobliterasi ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut.
q  Pengobatan lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada, bedah plerektomi, dan terapi diuretic.

G.    Water Seal Drainase (WSD)
1.      Pengertian
WSD adalah suatu unit yang bekerja sebagai drain untuk mengeluarkan udara dan cairan melalui selang dada.

2.      Indikasi
a.       Pneumothoraks karena rupture bleb, luka tusuk tembus
b.      Hemothoraks karena robekan pleura, kelebihan anti koagulan, pasca bedah toraks
c.       Torakotomi
d.      Efusi pleura
e.       Empiema karena penyakit paru serius dan kondisi inflamasi

3.      Tujuan Pemasangan
*        Untuk mengeluarkan udara, cairan atau darah dari rongga pleura
*        Untuk mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura
*        Untuk mengembangkan kembali paru yang kolap dan kolap sebagian
*        Untuk mencegah reflux drainase kembali ke dalam rongga dada.

4.      Tempat pemasangan
a.       Apikal
ü                       Letak selang pada interkosta III mid klavikula
ü                       Dimasukkan secara antero lateral
ü                       Fungsi untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura
b.      Basal
ü                       Letak selang pada interkostal V-VI atau interkostal VIII-IX mid aksiller
ü                       Fungsi : untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura

5.      Jenis WSD
·         Sistem satu botol
Sistem drainase ini paling sederhana dan sering digunakan pada pasien dengan simple pneumotoraks
·         Sistem dua botol
Pada system ini, botol pertama mengumpulkan cairan/drainase dan botol kedua adalah botol water seal.
·         System tiga botol
Sistem tiga botol, botol penghisap control ditambahkan ke system dua botol. System tiga botol ini paling aman untuk mengatur jumlah penghisapan.

H.    Pengkajian
1.                                                            Aktifitas/istirahat
Gejala : dispneu dengan aktifitas ataupun istirahat
2.                                                            Sirkulasi
Tanda : Takikardi, disritmia, irama jantung gallop, hipertensi/hipotensi, DVJ
3.                                                            Integritas ego
Tanda : ketakutan, gelisah
4.                                                            Makanan / cairan
Adanya pemasangan IV vena sentral/ infus
5.                                                            nyeri/kenyamanan
Gejala tergantung ukuran/area terlibat : Nyeri yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinan menyebar ke leher, bahu, abdomen
Tanda : Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi
6.                                                            Pernapasan
Gejala : Kesulitan bernapas, Batuk, riwayat bedah dada/trauma,
Tanda : Takipnea, penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, retraksi interkostal, Bunyi napas menurun dan fremitus menurun (pada sisi terlibat), Perkusi dada : hiperresonan diarea terisi udara dan bunyi pekak diarea terisi cairan
Observasi dan palpasi dada : gerakan dada tidak sama (paradoksik) bila trauma atau kemps, penurunan pengembangan (area sakit). Kulit : pucat, sianosis,berkeringat, krepitasi subkutan

I.       Diagnosa Keperawatan
1.      Pola napas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru (akumulasi udara/cairan), gangguan musculoskeletal, nyeri/ansietas, proses inflamasi.
Kemungkinan dibuktikan oleh : dispneu, takipneu, perubahan kedalaman pernapasan, penggunaan otot aksesori, gangguan pengembangan dada, sianosis, GDA taknormal.
Tujuan : pola nafas efektif
Kriteria hasil :
-          Menunjukkan pola napas normal/efektif dng GDA normal
-          Bebas sianosis dan tanda gejala hipoksia
Intervensi :
*        Identifikasi etiologi atau factor pencetus
*        Evaluasi fungsi pernapasan (napas cepat, sianosis, perubahan tanda vital)
*        Auskultasi bunyi napas
*        Catat pengembangan dada dan posisi trakea, kaji fremitus.
*        Pertahankan posisi nyaman biasanya peninggian kepala tempat tidur
*        Bila selang dada dipasang :
a.       periksa pengontrol penghisap, batas cairan
b.      Observasi gelembung udara botol penampung
c.       Klem selang pada bagian bawah unit drainase bila terjadi kebocoran
d.      Awasi pasang surutnya air penampung
e.       Catat karakter/jumlah drainase selang dada.
*        Berikan oksigen melalui kanul/masker

2.      Nyeri dada b.d factor-faktor biologis (trauma jaringan) dan factor-faktor fisik (pemasangan selang dada)
Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang
Kriteria hasil :
-          Pasien mengatakan nyeri berkurang  atau dapat dikontrol
-          Pasien tampak tenang
Intervensi :
*        Kaji terhadap adanya nyeri, skala dan intensitas nyeri
*        Ajarkan pada klien tentang manajemen nyeri dengan distraksi dan relaksasi
*        Amankan selang dada untuk membatasi gerakan dan menghindari iritasi
*        Kaji keefektifan tindakan penurunan rasa nyeri
*        Berikan analgetik sesuai indikasi
3.      Resiko tinggi trauma/henti napas b.d proses cidera, system drainase dada, kurang pendidikan keamanan/pencegahan
Tujuan : tidak terjadi trauma atau henti napas
Kriteria hasil :
-          Mengenal kebutuhan/mencari bantuan untuk mencegah komplikasi
-          Memperbaiki/menghindari lingkungan dan bahaya fisik
Intervensi :
*        Kaji dengan pasien tujuan/fungsi unit drainase, catat gambaran keamanan
*        Amankan unit drainase pada tempat tidur dengan area lalu lintas rendah
*        Awasi sisi lubang pemasangan selang, catat kondisi kulit, ganti ulang kasa penutup steril sesuai kebutuhan
*        Anjurkan pasien menghindari berbaring/menarik selang
*        Observasi tanda distress pernapasan bila kateter torak lepas/tercabut.

4.      Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan
Tujuan : Mengetahui tentang kondisinya dan aturan pengobatan
Kriteria hasil :
-          Menyatakan pemahaman tentang masalahnya
-          Mengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola hidup untuk mencegah terulangnya masalah
Intervensi :
*        Kaji pemahaman klien tentang masalahnya
*        Identifikasi  kemungkinan kambuh/komplikasi jangka panjang
*        Kaji ulang praktik kesehatan yang baik, nutrisi, istirahat, latihan
*        Berikan informasi tentang apa yang ditanyakan klien
*        Berikan reinforcement atas usaha yang telah dilakukan klien .



DAFTAR PUSTAKA

  1. Baughman C Diane, Keperawatan medical bedah, Jakrta, EGC, 2000.
  2. Doenges E Mailyn, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Ed3. Jakarta, EGC. 1999
  3. Hudak,Carolyn M. Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol.1, Jakarta.EGC. 1997
  4. Purnawan J. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Ed2. Media Aesculapius. FKUI.1982.
  5. Price, Sylvia A, Patofisiologi : Konsep klinis proses-pross penyakit, Ed4. Jakarta. EGC. 1995.
  6. Smeltzer c Suzanne, Buku Ajar Keperawatan medical Bedah, Brunner and Suddarth’s, Ed8. Vol.1, Jakarta, EGC, 2002.
  7. Syamsuhidayat, Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Jakarta, EGC, 1997.
  8. Susan Martin Tucker, Standar perawatan Pasien: proses keperawatan, diagnosis, dan evaluasi. Ed5. Jakarta EGC. 1998.










LAPORAN PENDAHULUAN CIDRA KEPALA

                                                        LAPORAN PENDAHULUAN
CIDERA KEPALA
PENGERTIAN
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cidera otak primer:
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.
Cidera otak sekunder:
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
Proses-proses fisiologi yang abnormal:
-          Kejang-kejang
-          Gangguan saluran nafas
-          Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena:
·         edema fokal atau difusi
·         hematoma epidural
·         hematoma subdural
·         hematoma intraserebral
·         over hidrasi
-          Sepsis/septik syok
-          Anemia
-          Shock
Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cidera otak dan sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.


PATOFISIOLOGI
Cidera kepala                                                              TIK  - oedem
                                                                                              - hematom
                                              Respon biologi              Hypoxemia
                                                                                   
                                                                                    Kelainan metabolisme
Cidera otak primer                          Cidera otak sekunder
Kontusio
Laserasi                                           Kerusakan cel  otak ­


Gangguan autoregulasi                   ­ rangsangan simpatis             Stress

Aliran darah keotak ¯                     ­ tahanan vaskuler                  ­ katekolamin
                                                        Sistemik & TD ­               ­ sekresi asam lambung

O2 ¯ à ggan metabolisme             ¯ tek. Pemb.darah                   Mual, muntah
                                                        Pulmonal

Asam laktat ­                                 ­ tek. Hidrostatik                  Asupan nutrisi kurang

Oedem otak                                    kebocoran cairan kapiler

Ggan perfusi jaringan                      oedema paru à cardiac out put ¯
Cerebral
                                                        Difusi O2 terhambat              Ggan perfusi jaringan

                                                        Gangguan pola napas à hipoksemia, hiperkapnea
Perdarahan yang sering ditemukan:
·         Epidural hematom:
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
Tanda dan gejala:
penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan suhu.

·         Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.
·         Perdarahan intraserebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
·         Perdarahan subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk.

Penatalaksanaan:
Konservatif
  • Bedrest total
  • Pemberian obat-obatan
  • Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.

Pengkajian

BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.

BLOOD:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).

BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
  • Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
  • Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
  • Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
  • Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
  • Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
  • Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.


BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.


BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.

BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

Pemeriksaan Diagnostik:
·         CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
  • Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
  • X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
  • Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
  • Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.

Prioritas perawatan:
1.         memaksimalkan perfusi/fungsi otak
2.         mencegah komplikasi
3.         pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.
4.         mendukung proses pemulihan koping klien/keluarga
5.         pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.


DIAGNOSA KEPERAWATAN:
1.         Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
2.         Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
3.         Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
4.         Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis; konflik psikologis.
5.         Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.
6.         Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
7.         Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
8.         Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian tentang hasil/harapan.
9.         Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
1)      Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
Tujuan:
  • Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
  • Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi
Rasional
Tentukan faktor-faktor yg  menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.

Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.

Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.





Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.









Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.





Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.

Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.
Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.

Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.

Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik.
Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan intensif.

Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan okulomotor (III).
Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.
Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap tekanan serebral.
Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.
Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.

Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.
Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,. Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.
2)      Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:
·         mempertahankan pola pernapasan efektif.
       Kriteria evaluasi:
·         bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Intervensi
Rasional
Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.

Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miirng sesuai indikasi.
Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar.
Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.




Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri
Lakukan ronsen thoraks ulang.


Berikan oksigen.



Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.

Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
Mencegah/menurunkan atelektasis.


Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trakhea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar pada perfusi jaringan.
Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.


Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi.
Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau bronkopneumoni.
Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.
3)      Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan:
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
      Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi
Rasional
Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
Berikan antibiotik sesuai indikasi
Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.

Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.

Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, atelektasis.

Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.



Daftar pustaka

Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah XI – Traumatologi , Surabaya.


Doenges M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta.